Jumat, 15 Mei 2009

TamanUntukku

TAMAN UNTUK - ku

Pagi itu…semua tenang. Diiringi suara burung-burung…tetesan embun…dan sinar mentari yang malu-malu beranjak. Aku bangun dari mimpi malamku. Mimpi tentang suatu hal yang tak pernah jelas, hingga sekarang. Aku bertemu seorang pria...namun tak pernah ku kenal wajahnya. Tempat yang sama, lay-out taman yang sama. Dengan dia yang sama. Yah...mungkin some where, ada seseorang yang memang menjadi jodoh ku. Ya...setidaknya, itulah yang dikatakan teman-temanku yang senang berbau-bau klenik seperti itu. Tapi pikir ku üntuk senang-senang...why not...!!!!”
Perlahan ku beranjak dari tempat tidurku yang sederhana. Hanya ada bantal, guling dan seprai yang mungkin sudah berminggu-minggu belum sempat ku ganti. Sebenarnya sudah gatal-gatal tubuh ku jika ku tidur diatasnya, tapi karena ku selalu datang menemui kasur tercintaku ketika ayam jantan hendak bersiap-siap berkokok, terpaksa ku rebahkan sebentar tubuh ini diatasnya. Ya...kalau sudah mengantuk, tidur di atas kuburan berbunga semerbak-pun tak apalah, pikir ku.
Hari ini, setelah sekian lama, ya..tak terasa sudah lima bulan aku di kota ini, pikirku...aku layak untuk mengambil cuti ku. Banyak hal yang ingin ku lakukan. Mengganti sepraiku, mencuci piring-piringku, pakaian ku, dan yang terpenting ku harus memanjakan diri. ”Aku ingin berlibur”teriak batinku.
Dengan segera kubereskan semua. Apartemen ku yang hanya sebesar ruang tamu dirumahku-pun pelan-pelan ku rapikan. Yah...aku hanya bisa membeli apartemen dengan ukuran studio, tapi cukuplah untukku. Itu pun ku beli dari operan orang indonesia yang telah lama tinggal di belanda. Mungkin ia kasihan melihatku. Atau juga, memang dia sudah tak ingin lagi. Kamar kecil di apartemen yang berada jauh di pinggir kota. Tapi untukku, aku sangat puas. Aku punya rumah untuk berteduh, dengan harga yang tak mahal. Dan terpenting lagi, aku membelinya dari orang indonesia. Entah mengapa, ketika ku ada jauh di negeri orang, rasa nasionalis ku terkadang muncul. Aku sangat senang jika bertemu dengan saudara-saudaraku. Orang Indonesia. Tapi sekali lagi, ini sangat cukup untuku. Yang sendiri, tak pernah berbenah rumah, dan selalu berangkat pagi – pulang pagi. Ya...walau alasan utamaku adalah memang tak punya budget besar, yah...tapi tetap kupaksa pikir ku untuk menyatakan...ruangan sebesar inilah yang sangat cocok buat ku.
Jam 10.00 pagi. Akhirnya pekerjaan ku beres semua. Perlahan ku ambil handuk, dan ku mulai bersihkan seluruh tubuhku yang penuh peluh. Keringat yang segar, yah...keringat yang membuat seluruh badanku berolah raga ringan.
”klik”suara pintu kamarku. Sekarang aku siap pergi menjelajahi kota ini. Kota yang tak pernah aku jelajahi sejak aku menjajaki kaki di kota ini. Aku hanya terbiasa, apartemen – kantor, kantor – apartemen. Aku tak pernah merasakan indahnya kota. Dengan langkah semangat 45-ku, aku menuju ’Hortus Botanicus” yah mungkin kita akan mengenal dengan sebutan ”Amsterdam Botanic Garden”tapi, yang aku baca, ya hortus botanicus. Tempat itu ku tuju, karena hanya tempat itulah satu-satunya taman kota yang dekat dengan apartemenku. Sebenarnya, buat ku, nama itu cukup uniq. ”Botanicus”, hehehe...sebelas- dua belas dengan ”Phitecantropus Erectus”pikirku. Mungkin, karena banyak kerangka-kerangka purba ditemukan oleh orang belanda, jadi...nama-nama kota mereka berbau-bau bahasa purba. Hahahaha...yah...setidaknya, itulah pikiranku yang sudah tidak mau dipaksa untuk berfikir lagi.
”Diana...” teriak seseorang yang sedang duduk-duduk bersama beberapa orang yang berada tak jauh dari keberadaanku. ”sini...orang Indo semua nech!!! Gak bakal nyesel...”teriaknya lagi. Aku berfikir, siapa orang ini. Ia yakin sekali bahwa memang benar aku yang mereka mau. Dikota yang dulu sangat dibenci oleh seluruh nenek moyangku. Tapi sekarang, aku mengabdikan diriku pada negeri penjajah. Hahahaha...nasib yang sangat ironi.
Akhirnya ku dekati gadis itu...oh my God...dia teman kecil ku. Clara namanya. ”wow...ngapain loe?”teriakku kaget sekaligus senang melihat orang Indo. Dengan semangat ku rangkul dan ku peluk clara. ”Yah...kayak loe liat. Gue kuliah bu disini”jawabnya singkat. ”wow...ambil apa? Master atau Doctor?”tanyaku penasaran. ”Untuk sekarang sech Master aja ya bu!!! Tapi kalo lo mau bayarin gue mpe Doctor sech...gue mau-mau aja, hehehe”jawabnya singkat. ”Trus loe disini ngapain? Liburan, sekolah, atau...jangan-jangan loe ikut suami loe ya?”ejek clara kearah ku. ”gak kok, gue disini kerja. Kebetulan kantor gue dijakarta ngirim gue untuk belajar disini.”jawabku seadanya. ”mang loe kerja jadi apa?”tanyanya dengan wajah yang sedikit serius. ”gue architech bu.”jawabku sangat singkat. Aku tak mau membahas pekerjaanku, ketika ku sedang menikmati hari liburku yang pertama dikota ini.
” By the way, loe masih kenal khan?”tanyanya sambil menunjuk ke laki-laki yang wajahnya sedikit familiar dengan ku. Tapi aku lupa siapa dia, dan dimana aku bertemu dengannya. ”ehmmm...siapa ya?”jawab ku sedikit tidak enak. ”gila...loe dah ga’kenal lagi sama Edward? Yang dulu biasa kita panggil ”kucel”yah...gara-gara emang gitu. Dia kecil, item, jelek, and jorok lagi. Inget khan?”paksa clara padaku sambil tertawa puas.
”Hai..diana..” sambil menjabat tanganku. Sambil berfikir panjang, yah ku raih saja jabatan tangannya. Tidak sopan pikir ku. ”hai juga”jawab ku. ”pasti belum inget siapa gue khan?” yah...rada beda sech gue. Puji dirinya sendiri. ”maksudnya tambah parah khan?”ledekku ke edward.
”loe mau kemana ’na”tanya clara memecah lamunan ku. “yah jalan-jalan aja”jawab ku singkat. ”Rencananya gue pengen ke beberapa museum gitu. Loe mau pada kemana? Atau mau ikut gue?”
....................... .....................................................................................
Panjang lebar yang kami bicarakan. Akhirnya, kami bertiga dan beberapa teman clara, memutuskan untuk pergi bersama-sama mengunjungi beberapa museum di kota ini. Memang, negera-negara di Eropa, sangat menghargai peninggalan nenek moyangnya. Bangunan-bangunan yang bersejarah. Andai bangsa kita seperti ini, mungkin negeri kita sangat indah dan nyaman. Duduk-duduk di taman kota dengan memandang bangunan-bangunan tua, namun sangat artistik. Tapi, yah itulah masyarakat kita. Hanya duit...duit ...duit... dan duit...semua rela mereka jual. Semua mereka bangun dengan yang memberikan banyak keuntungan untuk kantong mereka. Tapi...memang tak bisa disalahkan sepenuhnya. Mungkin benar, bangsa kita harus dihabiskan beberapa generasi. Termasuk generasi ku. Karena generasi aku keatas dan beberapa generasi ku ke bawah, sudah tercemar dengan pemikiran-pemikiran yang oportunis...pemikiran serakah...pemikiran yang hanya memikirkan diri sendiri, perut dan perut. Yah....tapi...mungkin kita hanya bisa ber-hela napas panjang. Mencoba memperbaiki diri dan meluruskan langkah diri kita masing-masing, ketimbang pusing memikirkan orang banyak.
”halah...gue jadi ngelantur gini”teriak batinku untuk menyadarkan diriku sendiri. Setelah kami berkeliling ke beberapa museum, museum Filmmuseum, Anne Fank House, Biblical Museum dan yang paling ku suka adalah Museum Willet-Holthuysen. Museum ini sangat indah bagi ku. Dengan bangunan tuanya yang bergaya abad ke 17nya, dengan canal yang ada didepannya. Seakan terlukis sebagai bangunan megah yang terambang diatas aliran air yang tenang. Di hiasi dengan dahan-dahan pohon yang pucuk dedaunannya seperti malu-malu keluar. Buat ku, ini merupakan lukisan yang paling sempurna. Sangat romantis. Aku sangat bersyukur tlah diberi waktu dan kesempatan oleh Tuhan, untuk melihat semua ini. Semua ini, serasa menggodaku untuk terus mengamatinya. Aku selalu berfikir, ”Tuhan Maha Indah. Karena Dia bisa menciptakan lukisan yang Maha sempurna ini”, pikirku.
Setelah letih kami berjalan, setelah banyak hal yang kami pelajari, tibalah perpisahan itu. ”Ok..Diana...kita berpisah disini.”ucap edward terbata-bata. Mungkin dia sudah lama di negeri penjajah ini, pikirku. ”Ok dech ’na...pokoknya karena gue dah dapet no. Handphone and alamat loe, ntar gue contact-contact loe dech!!!!loe juga jangan sombong ya?”ucap clara panjang lebar sambil memberikan peluk perpisahan untukku.
Cuti ku hampir usai...dan tidak seperti cuti-cuti ku sebelumnya di negeri sendiri, tak berbekas. Tapi cuti kali ini berbeda sekali. Aku melihat banyak keindahan hari ini. Aku memang muda. Usiaku baru 24 tahun, tapi aku sangat menyukai bangunan tua, musik-musik tua, dan suasana-suana yang jauh dari bising. Aku suka Eropa. Karena Eropa, memberiku semuanya. Bangunan Tua, Suasana yang tenang, seakan nadi kehidupan berjalan sangat lamban disini. Tapi aku menyukainya. I love it...itulah mengapa, aku rela tinggal jauh dari keluarga-keluarga tercinta ku di tanah air. Pergi jauh dari Ibu...Ayah..kakak-kakakku dan keponakan-keponakanku yang lucu. Mungkin sedikit egois, tapi aku menginginkannya. Aku selalu merasa, hidup hanya sekali. Aku ingin membuatnya sangat berarti. Untukku, untuk orang sekitarku, dan untuk akheratku. Dan aku pikir, it’s my way...dan aku akan terus berusaha untuk meraih itu semua.
Senin hingga jumat. Monday to Friday. Terus dan terus. Kembali aku bekerja dan bekerja. Sebenarnya, tidak ada tuntutan nyata dari kantorku untuk pulang pagi, tapi yah...it’my choice. I love work. Buat ku, bekerja bisa menghilangkan semuanya. Rasa letihku, rasa rinduku pada orang-orang yang kukasih, dan terlebih pada dia. Pada orang yang tak ingin lagi ku sebut namanya. Terlalu indah namun terlalu menyakitkan. Andai dia tau, dia begitu berarti untukku, mungkinkah dia akan meninggalkan ku? Tapi mungkin saja, toh...aku tak seperti yang dia inginkan. ”Pasti in some where, some day, I will meet someone” pikir ku. Orang yang bisa menggantikannya, merubah pandanganku tentang kesetiaan dan pengorbanan.
Dia. Adalah seorang lelaki, yang jauh sempurna. Namun entah mengapa, aku begitu menyukainya. Dia hanyalah laki-laki sederhana yang terus berusaha mencapai segala cita-citanya, menjadi yang terbaik. Untuk keluarganya, dirinya, dan untuk agamanya. Dengan perawakan yang sangat sederhana. Tidak terlalu tinggi, namun tidak pendek. Kulit coklat sawo. Rambut yang sering acak-acakan, tapi sesuai dan sangat sepadan dengan wajahnya. Hidungnya bangir. Pipinya yang sedikit berisi. Dan mungkin yang kusuka darinya, pembawaannya yang sangat cuek. Yang menunjukkan, dia adalah dia. Tak perduli apapun pendapat dari orang-orang yang ada disekitarnya.
”hey..Diana...what are doing? Are you want to join with us?” ucap mike melepas lamunan ku. “Where?” jawab ku singkat. ‘Yah…just looking around…I think you’re very tired. And I want to make you smile and relax. Are you?” ajak mike dengan mukanya sedikit berharap. Yah setidaknya ada seseorang yang memperhatikan keadaan ku, pikirku. “Ok…I will go with you. Just a minute!!!!” ucapku sambil ku bereskan meja dan ku tarik tas dan laptopku.
Melangkah dengan santai sambil bercakap-cakap ringan dengan mike, sedikit menghiburku. Ternyata dia orang yang sangat lucu. Tak kusangka, ada juga orang bule yang tak berotak seperti ini, pikirku. Dia cerdas, namun dia sangat konyol. Dia berpolah seperti tidak ada orang disekitarnya. Yah mungkin ini juga bedanya budaya timur dengan barat. Kita orang timur, harus memikirkan apa kata orang. Kita sering kali tidak jujur dengan diri kita sendiri. Kita selalu dipaksa untuk tidak kritis dengan hal yang kita hadapi. Kita hanya boleh mengikuti. Apa yang tidak boleh kata orang tua kita, kita pasti ikuti, tanpa tau sebabnya dan mengapa mereka melarang. Pamali, Bumali, hanya itu jawabannya. Kita takut dibilang pembangkang atau durhaka. Tapi aku pikir, budaya barat ada benarnya. Setiap anak diajak berfikir kritis. Logic. Mereka sangat jujur dengan perasaan dan pikirannya. Bukannya aku setuju dengan budaya free seks...yah...ini hanyalah salah satu dari kebebasan berfikir dan kebebasan akan apa yang mereka pilih. Karena, budaya orang bule, mereka biasa berciuman di depan umum, itu wajar. Untuk hal itu aku mencoba melihat dari sisi yang lain. Mereka akan sangat terbuka dengan perasaan mereka sendiri. Ketika mereka menyenangi lawan jenisnya, melindungi mereka, mencintai mereka, mereka ingin menunjukkannya. Dan itu adalah salah satu cara yang mereka pilih. Tak ada yang melarang. Itu adalah suatu proses tentang kejujuran tentang perasaan mereka.
Begitulah mike. Dia, sangat jujur. Dia bilang senang...benci ataupun kesal dengan jujurnya. Buat ku ini sangat menarik. Budaya yang belum bisa ku terapkan, karena aku adalah orang timur. Orang yang besar dan tumbuh bersama margin-margin kebudayaan yang sakral, yang tak boleh di langgar. Tak boleh di protes.
Hari berganti hari. Semua hari ku habiskan di kantorku yang serasa nyaman untukku. Itu perlu ku tanam dalam benak-ku, dalam hatiku, dan dalam jiwaku. Semua itu, ku tujukan agar aku bisa mencintainya. Mencintai pekerjaan. Aku hanyalah seorang architech, tapi buatku, pekerjaan ini adalah hidupku, jalanku, dan impianku. Ketika ku men-desain suatu bangunan, membuatku merasa aliran deras hemoglobin-hemoglobin di dalam nadi-nadi tubuhku. Serasa hemoglobin itu, begitu bergejolaknya. Seperti larva-larva yang sedang bersiap untuk meletup. Tapi memang itulah yang kurasa. Architech, adalah cita-citaku.
Ada suatu hal yang tak bisa ku lukiskan dengan jutaan kata-kata didunia ini, ketika satu bangunan hasil desainku, berdiri megah ditanah ini. Terlebih lagi, bangunan itu, memberikan kepuasan dan kenyamanan untuk orang-orang yang berada didalamnya. Mungkin, klise jika ku bilang, aku tak butuh penghargaan akan hasil-hasil karyaku, tapi memang itulah kenyataannya. Aku memang tak butuh itu semua. Sekali lagi, aku hanya puas jika bangunan itu memberikan arti untuk orang-orang didalamnya. Hanya itu.
”close to you...”suara deringan telepon-ku membuyarkan konsentrasi pada kertas kerjaku. Dengan jantung yang masih berdegup kencang, ku angkat telepon itu. Ku tatap terlebih dahulu layar teleponku. Ternyata telepon itu dari clara. Clara teman kecilku. ”hai...diana...lagi sibuk” ucap clara dari speaker teleponku. ”gak’kok. Gue lagi gambar-gambar aja”ucapku singkat. ”mang loe dimana? Dah di apartemen?” tanya clara padaku singkat. ”gue masih dikantor”jawab ku apa adanya. ”gila, jam 11 malam loe masih dikantor?”teriak clara yang memecah gendang telingaku. ”iya ’ra...gue masih di kantor. Mang kenapa?”tanyaku sekali lagi. ”gue pengen kenalin loe sama seseorang. Neh orang, pengen banget gue jodohin sama loe. Dia architech juga loch. Sama kan ma loe? Begitu gue tau dia seorang architech, langsung gue pikir itu loe. Mau ya?”tanya clara sedikit memaksa. ”Mang siapa? Gak ah...kayak jaman siti nurbaya aja loh masih di jodoh-jodohin.”jawab ku malas. ”pokoknya, besok jam 10 malam di Stationsplein dan dari situ kita baru ke museumboat. Yah jalan-jalan romantislah, hehehe”ucap clara panjang lebar memaparkan ide-idenya. Belum sempat ku jawab, ”ok, diana...besok gue tunggu dengan ehm..ehm.. jangan telat ya!!!inget ini bukan Indonesia” dan tanpa basa-basi dan tanpa meminta persetujuanku, telepon itu langsung ditutupnya.
”yah...dari dulu, ga’pernah berubah” ucapku sambil ku hela nafas panjang. Hari ini, aku pulang dengan jam yang hampir sama dengan hari-hari sebelumnya, jam 12 malam.
Dengan rutinitas yang sama setiap harinya. Jam 9 berangkat ke kantor, bekerja hingga jam makan siang, bekerja dan bekerja hingga malam. Pulang ke rumah, beres-beres, sholat dan tidur. Pagi-pagi bangun, kekantor jam 9 pagi, bekerja dan bekerja, pulang kerumah, beres-beres, sholat isa dan tidur. Begitu tiap harinya.
Entah kenapa, hari ini aku sering sekali melihat jam dan kalender di meja kantorku. Hal ini sangat jarang sekali ku lakukan. ”Do you have appointment with some one Diana?” tanya mike yang melepas lamunanku. “Ehmm…yeah. But it’s not important.” jawab ku singkat kea rah mike. Mungkin mike, melihat kejanggalanku hari ini. “ini semua gara-gara clara.”lirihku singkat.
Tak terasa jarum jam ditangan ku sudah menunjukkan pukul 9.30 malam. “masyaallah…”teriakku. “udah jam segini” ucapku pelan. Aku tak ingin membuat mike, memperhatikan ku lagi. Perlahan kurapikan mejaku yang penuh dengan kertas-kertas. Kumatikan laptop yang ada dihadapanku. Setelah kurapikan semuanya, kutarik tas dan laptopku. "By Mike, by Jhon…see u tomorrow….”ucapku cepat sambil ke percepat langkahku. Aku tak mau mereka bertanya panjang lebar tentang kepulanganku. Rencana clara yang ingin menjodohkanku. “Stupid” teriakku dalam hati.
Tapi…dalam setiap langkahku, ku rasakan ada yang bergejolak dihatiku, apakah aku harus datang ke pertemuan yang diatur oleh clara atau tidak. Batinku mengatakan tidak, tapi entah kenapa, tubuh ini, otak ini serasa mendorongku untuk pergi. Dan sejalan dengan tubuh dan otakku, kakiku-pun ingin meninggalkan kantor tercinta ini dengan segera.
Ku ambil bus ke arah tempat yang telah dijanjikan oleh clara. Tak jauh bus ini berjalan, tiba-tiba.............................................
................................................................................................................................................
”hey... siapa orang ini? Mengapa dia meniduri kasur kesayanganku”pikirku dengan melihat kearah lelaki yang sedang santai tidur di atas ranjang ternyaman untukku. ”hey...who are you”teriakku ke arah laki-laki itu. Wajah itu seperti Indo, tapi aku kurang yakin, kalau dia adalah orang Indonesia. ”hey who are you?”teriakku untuk kedua kali yang lebih keras. Dia tetap tak bergeming. Dia tetap tidur diatas ranjangku. Aku benci dia. Dengan rasa kesal, aku ambil gelas yang ada disamping tempat tidur ku. Tapi ada yang aneh. Mengapa aku tak bisa mengambil gelas itu. ”hey...apa yang terjadi?”tanya batinku.
Laki-laki itu terjaga dari tidurnya. Cepat-cepat ku berdiri di depan langkahnya, untuk menghalangi jalannya. Tapi...dia...dia bisa menembusku. ”ada apa dengan ku”teriakku. Aku bingung. Entah apa yang telah terjadi. Mengapa dia tidak bisa melihatku? Mengapa dia bisa menembusku? Mengapa barang-barang dirumahku, tidak bisa ku raih? Mengapa? Banyak pertanyaan yang tak terjawab dari otakku.
”hai...”teriakku ke arah laki-laki itu sekali lagi. Tapi tetap dia tidak bergeming. Terus kupaksa untuk bisa memegang barang-barang yang ada disekitarku. Tapi tetap tak ada yang bergerak dan tersentuh oleh ku.
”Tuhan...apa yangtelah terjadi dengan ku”ucapku lirih. Tak kuasa ku tahan air mata perih dan penasaran dari dua kelopak mataku. Aku tak tau yang telah terjadi. Kemarin, sekarang, apa yang telah terjadi. Terus ku ingat-ingat apa yang telah terjadi, tapi tetap aku tak ingat apa-apa. Aku tak tau apa yang kulakukan. Yang ku tau........ ”ah...aku bisa angkat sendok!!”teriakku dengan bahagia. Dengan segera kulempar sendok itu kearah laki-laki itu.
”auch...” rintih laki-laki asing yang ada di apartemenku. Dia melihat sekeliling ruangan. Mukanya menunjukkan kengerian dan rasa penasaran yang mendalam. ”kenapa sendok ini bisa kemuka gue?”ucapnya aneh dalam bahasa indonesia. ”Ah..dia orang Indonesia”ucapku lirih dengan rasa senang. ”Aku bisa maki-maki dia”ucapku sambil ku berjalan kearahnya. ”hey...ngapai loe ada di apartemen gue? Dapet kunci dari mana loe? ”tanyaku ke arah laki-laki asing itu. Namun tetap dia tak bergeming.
Letih rasanya seluruh badanku. Tlah ku maki-maki dia. Tlah ku lempar semua barang-barang kearahnya, namun usahaku tidak berhasil. Laki-laki itu tetap tak bergeming. Dia tetap tak bisa merasakan kehadiranku. “Mengapa?” tanyaku sedih. Air mataku pun mengalir dari kedua kelopak mataku. “mengapa? Apa yang terjadi?” hanya itu yang bisa kupertanyakan, namun aku tak bisa menjawabnya. Lama kelamaan, tangisanku sangat kencang. Kencang sekali. Dan tiba-tiba...laki-laki asing itu, merasakan kehadiranku. Hal itu ku dapat dari mimik mukanya yang terlihat oleh ku. Ada penasaran, keanehan dan tanda tanya dari mimik muka itu.
”waduch...kayanya nech rumah dah aneh-aneh nech!” ucapnya dengan mimik muka yang was-was. ”hai...gue disini...” ucapku. Entah mengapa ini adalah setitik cahaya untuk mendapat perhatiannya. ” loe denger gue khan?” tanyaku lagi ke laki-laki asing itu. ”wey...siapa loe?” tanyanya kasar. Dia tetap tidak bisa melihatku, buktinya ia berteriak tanpa tau sebenarnya aku ada tepat dihadapannya.
”loe yang siapa?” ucapku tak kalah kasar. ” loe tau, ini kamar gue. Ini tempat gue. Loe dapet konci dari mana? Loe mau ngapain ditempat gue?” tanyaku yang panjang lebar. Aku ingin tau, siapa dia. Mengapa dia ada disini dan mengapa aku begini.
” yeh...setan yang aneh. Ini tempat gue tau. Gue dah beli nech kamar. Dah...kalo dah mati, mati aja. Gak usah gentayangan kayak gitu. Loe kira gue takut ma loe?” ucapnya kasar tentangku. “loe yang sinting. Gue bukan setan. Gue Diana. Gue architect. Dan gue belum mati. Ngerti gak loe!!!!” ucap ku yang tak kalah sewot.
Dia terus-terus meyakinkan bahwa aku tlah mati. Tapi entah mengapa akupun bersikeras bahwa aku belum mati. Mungkin, dia merasa bosan dengan ucapan dan teriakkanku. Dia melangkah kekamar mandi dengan tetap ku ikuti dari belakang. Dia mengosok giginya, lalu beranjak ke kamar tidur. ” woy...gue ngomong ma loe!!!” teriakku dikupingnya. Namun dia tetap diam. Dia menutup dua belah kupingnya dengan bantal. Mungkin benar, dia telah benar-benar lelah dengar suara-suara ku.
Keesokkannya, ”Pagi...” ucapku kesal. Dia terloncat dari duduknya. ”gila, dikirain gue nech setan cuman mimpi doang, ternyata beneran.” ucapnya kesal sambil beranjak dari ranjangku. ”cepat pergi, dan bawa barang-barang loe dari sini. ” This my home not your’s. ” ucapku. ” yeh... ngelunjak nech setan. Terserah ape kate loech dech set….” Ucapnya yang kupotong dengan segera. ” hai... My name is Diana” ucapku kesal. ” ya...ya...ya...mending loe pergi dech loe setan diana. Gue takut, ntar loe gak masuk surga loch. Tapi kalo loenya kayak gini sech, gue jamin loe gak akan masuk surga. Secara, loe tuch bebel banget. Ga’ bisa di bilangin” ucapnya cuek. Mungkin dia dah benar-benar bosan denganku.
Banyak hal yang ku bicarakan pada laki-laki asing dan aneh ini.tapi tetap dia cuek dengan keberadaan ku. Ketika aku bicara, dia hanya bernyanyi-nyanyi. Seperti acuh dan tak acuh dengan keberadaankku. Setelah ia selesai mandi, lalu ia bersiap-siap untuk pergi dari kamarku. ”hai...sinting. Jangan dateng-dateng lagi loe. Ini RUMAH gue!!!” pekik ku dari dalam rumah. ”hai...kenapa loe kunciin gue?” tanyaku sambil ku tarik pintu depan yang sedang ia kunci. ”waduch...neh setan, ga’ pernah sekolah apa? Jelas-jelas loe setan. Ya ga’ perlu kunci lah kalo mau keluar. Loe tinggal tembusin aja tuch tembok-tembok. Gue penasaran ma muka loe. Muka loe sebodoh otak loe gak sech?” tanyanya cuek sambil mengunci kamarku dan beranjak turun ke bawah, tanpa memperdulikan teriakkanku. Kamarku berada di lantai 4 di salah satu apartemen ini.
Benar juga katanya, aku bisa menembus ruang kamar ku. Aku bisa keluar dari ruanganku, tanpa perlu melewati pintu yang terbuka. Entah apa yang ku rasa, tapi saat ini, aku benar-benar benci dengannya. Dia benar-benar telah membuka pintu kemarahanku yang jarang terpancing. Dia benar-benar laki-laki aneh.
Aku tetap bertahan didalam ruanganku. Aku masih terus memikirkan, mengapa aku begini. Semakin terus berfikir, aku tetap tak mengetahui apa yang telah terjadi. Mengapa semua bisa berubah. Siapa yang sekarang sedang mengaduk-aduk kamarku. Ada apa dengan semuanya. Tetap aku tak bisa menemukan jawabannya.
Tiba-tiba...”gue, tau Wan. Loe kan punya tuch indra ke-6. loe pasti bisa liat tuch setan kayaknya sech dia cewe’. Bis cerewet bangedt. Tadi pagi aja gue dah denger dia nyanyi-nyanyi sumbang gitu. Pokoknya bikin bt dech tuch setan. Mana bisa gue kerja?” cerita panjang lebar si laki-laki asing itu ke temannya yang baru saja dia ajak ke ruanganku. Sepertinya ia sedang menceritakan ku kepada temannya, yang berperawakan cukup aneh untukku. Dia tinggi. Putih. Sangat kurus untuk ukuran orang setingginya. Mukanya sangat tirus. Tapi, entah mengapa, aku merasa dia bisa membantuku. Tapi rasa sesalku pada laki-laki asing yang hingga kini belum ku tahu namanya sudah memuncak, maka aku selalu tidak bisa berfikir jernih. Aku selalu memakinya.
”eh...loe tuch yang sinting. Gue bilang gue belum mati. Gue bukan setan. Kok gak ngerti-ngerti juga.” ucapku sewot. ”trus, siapa lagi yang loe bawa? Dukun? Hahahaha...ngakunya metropolitan, tapi masih percaya dukun. Dasar laki-laki aneh.” ucapku sewot sambil kupandangi laki-laki baru yang dibawa oleh laki-laki asing yang ada dikamarku.
” dia sedang bicara dengan loe Tery.” Ucap laki-laki baru ini. ”lah...loe ga’ bisa denger dia emangnya Ridwan?” tanya laki-laki asing dalam kamarku. Aku baru tau, nama laki-laki asing di kamarku adalah tery. Dan temannya yang tak kalah jauh lebih aneh bernama ridwan. ” Cewe’ ini belum mati. Ini adalah ruamahnya.” Ucap ridwan yang langsung ku potong “ tuch kan...gue bilang juga apa. This is my home. Jadi loe ambil barang-barang loe, trus pergi dari rumah gue.” Ucapku kesal. “Cewe’ ini hanya bisa dilihat dan didengar oleh loe. Yang bisa membantunya hanya loe Ter.” ucap ridwan serius. Aku sedikit terperanjak. Mengapa mesti laki-laki aneh ini yang bisa menolongku. Memangnya siapa dia. ”Gila loh...gue? man siapa gue. Kenal dia juga ngak. Dan perlu loe tau ya, gue juga belum bisa liat dia. Dan gue harap sech, gue ga’ akan pernah liat dia.” Ucap tery kesal dan mengerutu. “hah...loe kira, gue juga mau loe tolong. Ada juga, loe harus tolong diri loe sendiri. Loe harus pikirin tuch, malam ini mau tidur dimana. Gue dah ngak mau numpangin orang aneh di kamar gue lagi. Titik.” ucapku tak kalah sewot.
”Ya...pokoknya ter, hantu ini belum mati. Tapi gue ngak tau tubuhnya terbaring dimana. Kalo loe mau ngusir dia dari sini, loe harus mau bantu dia menemukan tubuhnya. Dia butuh bantuan loe. Karena hanya loe yang bisa bantu dia.” penjelasan ridwan yang panjang lebar ke tery. ”Ah gila loe. Itu ngak mungkin.” ucap tery meyakinkan dirinya. Aku benar-benar letih bertengkar dengannya. Sekarang aku hanya bisa diam. Diam tak berkutik.
Akhirnya laki-laki bernama ridwan itu pergi meninggalkan aku dan tery. ”hey...loe denger khan kata temen loe. Gue bukan setan. Gue belum mati. Loe harus bantu gue.”ucap ku sedikit memaksa sambil ku sentuh bahunya dan menggoncang-goncangnya dengan keras. Tapi...saat itu, ada hal yang aneh. Aku bisa menyentuh tubuhnya. Dia bisa merasakannya. Dia tersendak saat ku sentuh bahunya. Dan...
“Wow...siapa loe? Loe setannya?”tanya tery ke arahku. Ku dekati mukanya. ”weit...jangan deket-deket. Sekarang gue bisa ngeliat loe.”ucap tery sambil menjauhkan dirinya dari tempat dimana ku berdiri. ”loe bisa liat gue?”tanyaku penasaran. Dia tak menjawab. Dia tetap mengaduk kopi hitam yang sedang ia buat.
”Ok. Aku sudah muak dengan gangguan selama 2 hari ini. Ok..ok...gue akan bantu loe.”ucap tery sambil melewatiku. Aku terus mengikuti kemanapun ia pergi. Aku terus bertanya-tanya apa yang akan dia bantu. ”Tery...loe mau bantu gue gimana?”tanyaku untuk kesekian kalinya. ”Tery...jawab dunk!!!”teriakku sekali lagi.
Mungkin ia bosan dengan ocehanku. ”ok...kita liat apa yang kita lakukan besok. Sekarang, gue harus tau, dimana aja loe taro semua benda-benda berharga loe.”tanya tery ke arahku. Benar-benar, kali ini kami bisa berkomunikasi. “ehhmm...oh, ya...loe bisa pergi kekantor gue di Grandwork Interior Pte, Ltd”ucapku bersemangat. “ah...loe bilang apa? Loe tadi kerja dimana?”tanyanya penasaran. ”Ih...loe budek ya? Gue kerja di kantor GRANDWORK INTERIOR.”ucapku kesal. ”loe kerja sebagai apa?”tanya tery penasaran. ”gue sebagai desain interiornya”jawabku singkat. ”loe kerja, satu tim dengan mike dan Jhonathan?”tanyanya untuk meyakinkan. Aku pun heran, mengapa ia tau teman-temanku. ”kok loe tau?”tanyaku kembali dengan penasaran. ”karena gue kerja disana. Katanya gue di tarik dari jakarta ke sini, karena untuk menggantikan karyawan yang sudah 5 bulan koma. Apa nama loe Diana Swastika?”tanyanya kembali. Aku benar-benar heran. Mengapa ia tau namaku. ”kenapa loe bisa tau nama panjang gue?”tanyaku bingung. Aku benar-benar bingung. ”gue kerja di grandwork interior – jakarta sejak 2 tahun yang lalu. Trus, gue di tarik ke belanda, dengan alasan untuk menggantikan posisi karyawan yang sudah 5 bulan koma. Namanya Diana Swatika. Dia mengalami kecelakaan ketika ia pulang dari bekerja. Sepertinya dia mau pergi ke arah Stationsplein, karena bus yang ia ambil memang ke arah sana.”terang tery panjang lebar. “yah...setidaknya itulah informasi yang ku dapat dari mike dan jhonathan.”ucap tery melengkapi penjelasan sebelumnya.
Akupun terdiam. Aku mulai berfikir, apa benar yang ia katakan. Kalau memang benar, dimana tubuhku sekarang? Bagaimana kondisinya? ”loe harus bantu gue ter!!!”mohonku pada tery. “ok...besok kita ke kantor, trus kita akan cek keberadaan tubuh loe.”ucapnya menyejukkan.
Malam ini, aku tak bisa terpejam. Mungkin karena aku tak sabar esok hari, atau arwah gentayangan seperti ku memang tak bisa tertidur, aku tak tau. Aku lihat tery telah terlelap. Tubuhnya yang tak gemuk dan tak kurus itu, tergeletak lemas diatas tempat tidurku. Tempat tidur yang jarang kurapihkan. Namun sekarang, aku begitu merindukan tidur diatasnya. Sentuhan bantal gulingku. Rasa gatal ditubuhku, karena seprai yang hampir sebulan sekali baru ku ganti. Aku sungguh merindukannya.
”Wake-Up”teriakku membangunkan tery. “Wuaahhhhh…”teriak tery kaget. Dia benar-benar kaget rupanya. Posisi tidurnya yang dibibir tempat tidurku, membuatnya terjatuh begitu ia mendengar teriakkanku. “Gila…loe, yang bener aja bangunin gue. Loe lahir di samping rel ketera api ya? Suara apa petir tuch?”gerutunya sambil terus menarik selimut untuk menutup tubuhnya kembali. “Bangun ter...loe janji hari ini mau bantu gue.”mohonku sambil ku goyang-goyang tubuhnya. Terus dan terus ku goyangkan tubuhnya, hingga ia terbangun. “Acchhh...iye..iye... nyesel gue bilang ok tadi malem. Loe kenapa sech gentayanganya disini? Gentayangin tuch orang-orang modelnya ridwan. Mereka pasti seneng. Kalo gue, Amit dech!!!”gerutunya sambil melepas selimut dan beranjak ke arah kamar mandi.
Pagi itu, kami...ya..tepatnya mungkin hanya tery pergi ke kantor kami. Setelah perjalanan kami selama 30 menit, kami sampai di kantor kami. Begitu kami ingin masuk ke dalam, tery berhenti sesaat dan bertanya ke arahku ”loe siap?”tanya tery dengan diikuti helaan nafas yang panjang. ”iya.”jawab ku yakin. Akhirnya kami berdua masuk kekantor kami. Begitu aku masuk kekantor itu, aku terdiam. Aku seakan-akan teringat sesuatu. Begitu dekat. Gambar yang aku saksikan begitu ku kenal. ”Apa benar yang tery ceritakan tadi malam”hanya pertanyaan-pertanyaan itu yang terus melayang-layang diotakku. Terus dan terus. Ketika tery bicara dengan seorang bule, aku seperti kenal. ”dia mike. Dia teman karib ku.”teriak batinku. ”benar...ini adalah kantorku.” ucapku sedih. ”jika benar yang dikatakan tery tadi malam... apa benar sekarang aku sedang berjuang melawan maut?”pertanyaan-pertanyaan itu seperti ingin membuat kepalaku pecah. Semua pertanyaan, begitu sulit ku jawab. Bagai ingin teriak dan berlari ke arah ibu. ”ibu...apa yang sedang ibuku rasa?”tanyaku sambil terisak. Aku seperti kapas ditengah lautan. Terombang ambing tak terarah. Aku terdiam, dan terjatuh. Ku bersimpuh dilantai kantorku. Kantor yang ternyata sudah 5 bulan kutinggalkan.
Tery berjalan mendekat kearahku. ”Ayo ikut. Gue dah dapet cuti nech.”ajak tery sambil berjalan mendahuluiku. ”kita mau kemana?”tanyaku heran. Dia tak menjawab. Dia terdiam. Dia membisu. Entah apa yang mike dan jhonathan katakan padanya. ”Apakah sebegitu parahnya aku” kembali beribu-ribu pertanyaan melayang di kepalaku.
Aku diajaknya naik trem. Setelah kurang lebih 40 menit ku berada di trem, kami pun turun. Tery mengajakku ke arah rumah sakit yang sepertinya ku kenal. ”GL Hospital” nama itu terpampang besar dan jelas di tembok bercat biru muda itu. Aku terdiam sesat. ”Ayo!!!”ajak tery sekali lagi.
Dengan langkah yang gontai dan lemas, aku terus mengikuti langkah tery, langkah demi langkah. Aku begitu merasa degupan jantung yang berdetak sangat kencang. Kencang sekali. Sakin kencangnya degupan itu, membuat dada ku sesak. Ingin meledak rasanya.
Tery berhenti diruang ICU. Dia tepat berhenti di depan pintu ruang ICU. Disitu ada orang-orang yang kukenal. Disitu ada ibu. Ada clara. Dan ada abangku. Ingin rasanya ku peluk mereka. Ku dekati mereka satu persatu. Mata mereka merah. Muka mereka sembab. Mungkin terlalu lama menangis untukku. Aku merasa bersalah dihadapan mereka.
Tery mendekati ibu dan abangku. Entah apa yang mereka bicarakan. Aku tak sanggup lagi mendengar pembicaraan mereka. Pelan-pelan ku langkahkan kakiku dan menembus dinding tebal yang telah menyimpan tubuhku selam 5 bulan ini. Mata ku terbelalak. ”Tidak...” tangisku memecah. Aku tak tega melihat tubuhku. Tubuh itu seperti mati. Putih, kurus, lemah dan tak berdaya. Grafik yang naik turun yang terpampang jelas disampingku, mungkin bukan nafasku sebenarnya. Mungkin itu adalah mesin yang terus setia memompa jantungku. Yang mungkin jika mesin itu tersambar petir dan terlepas dari tubuhku, grafik itu hanya bisa menggambarkan garis lurus. Lurus dan bebunyi nging saja.
Aku keluar dan terus menangis. Hanya tery yang bisa melihatku. Dia tau, bahwa aku telah melihat tubuhku. Dengan pembicaraan yang sedikit panjang, akhirnya tery melihat tubuhku. Hanya sebentar ia berada didekat tubuhku. Dengan segera ia pamit ke ibu, abang dan clara, lalu ia berlari arahku. Ia mengajakku pulang. Kerumahku, atau mungkin sekarang memang benar, itu adalah rumahnya.
Sepanjang perjalanan dia hanya diam. Akupun tak berkata apapun. Mulut ku begitu kelu. Hilang semua kecerewetanku, dan ke bawelanku pada tery. Dan tery pun tak memaksaku untuk bicara. Mungkin dia tau seberapa terpukulnya aku. Mungkin sekarang, dia sedang ber-empati padaku. Tapi, aku benar-benar berterima kasih padanya. Akan empatinya padaku. Tapi, untuk sekarang, rasa itu tak bisa kuungkapkan. Tak bisa ku utarakan padanya.
Setibanya di apartemen kami, kami berdua sama-sama terdiam. Aku terus menangisi tubuhku. Gambaran tubuhku yang tergeletak lemah tak berdaya, terus berada di otakku. Menari-nari, seakan mengejekku dan tak mau pergi. Perlahan, tery mendekatiku. Dia duduk disampingku. Aku tau dia ingin bicara, tapi sekali lagi, dia hanya duduk dan terdiam.
Lima hari berlalu dari hari kejadian itu. Tery terus menemaniku. Aku tau dia menghiburku. Tapi, bayangan itu tak mau beranjak dari kepalaku. Malam ini, tery begitu istimewa. Ia membawakanku setangkai bunga lili. Entah darimana ia tau aku suka bunga lili. Jam 9 malam, pintu kamarku terbuka. “tery pulang” ucapku tak bersemangat. Benar, memang tery yang pulang. Dia membuka pintu, dan mendekatiku. Dia menyerahkan bunga lili kearahku. Dia terus mendekatiku. Lalu pelan-pelan dia memelukku. Mukanya begitu dekat di mukaku. Dengan lembut dia berkata, ” Diana, gue gak mau liat loe sedih lagi. Sekarang, kita berfikir bersama bagaimana kita bisa menyadarkan loe dari tidur panjang loe.” bisiknya di kupingku sambil memeluk tubuhku. Mungkin, aku tlah begitu lelah untuk menolak pelukkannya, atau mungkin aku mulai mempercayainya. Tapi tetap ku diamkan. Dia terus memelukku. Malam itu, dia terus mendengar ceritaku dengan hitmat. Dia benar-benar memperhatikanku. Malam itu, dengan rela ia terus menemaniku, padahal ku tau, dia pasti letih. Aku tau pekerjaannya, karena itu dulu adalah pekerjaanku juga.
Pukul 6 pagi ku terbangun. Aku tertidur dibawah pelukkannya. Terasa nyaman malam itu. Kondisi kami berubah 180 derajat malam itu. Dia begitu manis, akupun menerimanya.
” close to you...” bunyi telepon genggam tery. Entah apa kebetulan atau tidak, lagu kesukaan kamipun sama. Kami sangat menyukai lagu itu. Lagu berjudul Close to You. “ oh…iya, gue tau. Loe clara temennya si Diana kan?” tanya tery ke orang yang ada disembrang speker telepon genggam tery. Dan ku tau, itu clara. Aku binggung, dari mana clara tau nomor telepon tery, dan apakah dia saling kenal. Tapi aku tak mau memusingkannya, karena banyak hal yang harus aku pikirkan, dan itu semua belum bisa terpecahkan oleh ku.
Setelah tery menutup telepon dari clara, ku lihat muka yang sangat panik dari tery. Seakan-akan telepon itu membawa suatu berita kematian seseorang. Akupun penasaran. ” kenapa ter?” tanyaku singkat. ” Diana, hari ini, pukul 1 siang, alat-alat yang membantu pernapasan loe akan dilepas. Keluarga loe sudah tak bisa melihat penderitaan loe lagi. Clara telepon, karena hanya dia satu-satunya orang yang percaya akan ceritaku.” ucap tery dengan perlahan-lahan. Mungkin ia tak mau tangisku akan memecahkan dinding-dinding apartemen ini. ”loe, cerita? Cerita tentang kita? Sama siapa aja?” tanyaku penasaran. Ternyata...hari dimana kami pergi kerumah sakit itu, tery berbicara sangat lama bersama ibu, abang dan clara. Aku baru tau, bahwa pada saat itu, tery sedang berusaha meyakini mereka, bahwa aku ada. Arwahku ada diantara mereka. Arwahku ada disampingnya. Namun tidak ada satu orangpun yang percaya. Aku tak meyalahkan ibu. Aku tak meyalahkan abangku. Karena, kami dibesarkan dilingkungan beragama. Dan kami hanya meyakini dunia selain kami, tapi kami tidak mau memusingkannya.
Ditengah lamunanku...tery berteriak...” diana, kita harus cepat-cepat menghentikannya!!” ucapnya terburu-buru. Ternyata ditengah lamunanku, dia sudah bersegera dan mengganti bajunya untuk pergi ke rumah sakit biru itu. ”gue gak mau, loe mati. Gue mau loe terus idup. Karena gue begitu mencintai loe.” Ucap tery terengah-engah karena dia mengucapkannya sambil berbenah dan berlari menuju pintu utama. Aku terdiam. Aku berusaha terus mencerna dalam-dalam, apa yang baru saja tery katakan. “diana, lo ikut?” paksa tery untuk memecah lamunanku. Lamunan yang aneh.
Setelah perjalanan kami, kami sampai didepan rumah sakit yang seminggu lalu ku datangi. Langkahkku berat. Tapi, tery begitu semangat. Lantai dimana tubuhku berada sudah kami injak. Tery terdiam sesaat. Seakan memutar otak untuk melakukan satu hal yang sangat besar. Aku hanya bisa melihatnya. Terdiam. Dan tak bisa membantu apa-apa. Diam-diam tery masuk ke ruangan, operasi. Disitu, ada baju hijau, baju dokter yang ingin melakukan operasi. Aku bukan seorang dokter, jadi aku tak tau apa nama baju itu.
Dengan bergegas, tery menuju kamar ICU. Kamar dimana jam 1 siang nanti, menjadi saksi bisu kematianku. Kematian seorang Diana Swastika. Perempuan Indonesia, yang mati di negeri yang jauh. Negeri air. Negeri tulip. Negeri kincir air.
Terus dan terus ku lihat gerak gerik tery. Ku lihat jarum jam di dinding ruang ICU, telah menunjuk pukul 12.30 siang. ”30 menit lagi, aku akan mati” pikirku. Ku lihat tery dengan cekatan dan trampilnya, mencopot-copot tali-tali yang terlilit di seluruh tubuhku. Setelah 20 menit berlalu, akhirnya tery bisa membawa tubuh ku keluar dari kamar itu. Kamar yang seharusnya menjadi saksi kematianku. Kepergianku. Ketika tubuhku sampai di depan ruang ICU, tiba-tiba langkah tery terhenti. Perlahan kulihat, 3 dokter, ibu, abangku, clara, edward, mike, jhonathan dan bos ku fabio menghentikan langkah tery. Satu-satu ku lihat orang-orang yang ada disekitar tubuhku. Semua sembab. Haya 3 dokter itu yang tak terpengaruh dengan keberadaan tubuhku.
”clara..ibu..percaya sama saya. Diana masih hidup. Arwahnya ada diantara kita. Dia masih mau hidup itu yang ku dengar dari mulutnya. Tolong percaya saya.” Ucap tery meyakinkan orang-orang yang ada disekitar tubuhku. Aku hanya bisa menangis melihat usaha tery. Karena aku yakin, itu tak akan berhasil. Itu hanya pekerjaan yang sia-sia. “sudahlah nak tery...ini mungin adalah jalan terbaik untuk diana. Sudah hampir setengah tahun, dia tak sadarkan diri. Itu tak mungkin berhasil. Maaf kan kami. Kamipun tak mau diana meninggal seperti ini. Tapi langkah ini, harus kami ambil” penjelasan ibu sambil di barengi oleh isakannya. Aku tau, mungkin ibu sudah tak bisa lagi menangis. Ku pikir, sudah tak ada lagi air mata dimatanya. Habis selama 6 bulan ini. Akupun tau alasan ibu. Entah mengapa, akupun siap untuk mati. Walau setelah ini, aku tak akan bisa melihat ibu lagi. Ayah, kakak-kakaku, dan keponakan-keponakanku.
”security!!!” ucap salah satu dokter memangil security untuk mengusir tery. Dia terus bertahan. Dia berusaha mati-matian untuk membawaku pergi. Ketika langkah dan tangannya terlepas dari sisi-sisi ranjangku, dia hanya bisa teriak “ Diana, aku begitu menyayangimu. Maafkan aku.” Ucapnya sedih, sambil berusaha melangkah ke arah dimana tubuhku terbaring. Dia menciumku. Lama sekali. Sebelum akhirnya dia terseret oleh tangan-tangan kekar 2 security rumah sakit biru itu. Namun tiba-tiba…
Aku terseret. Aku terseret kedalam tubuhku. Aku tak tau apa yang terjadi. “lihat…tangan Diana bergerak” teriak clara yang memecahkan ketegangan yang ada. Perlahan-lahan, tanganku bergerak. Lama kelamaan mataku terbuka. Dan akupun tersadar.
”diana, tolong aku” teriak tery kearahku. “ ah…kamu siapa” ucapku kearah tery. “ Aku tery. Kamu ingat malam tadi. Aku memberi bunga kesukaanmu. Bunga lili. Bunga putih. Bunga yang seperti dirimu. Ingat kan?” tery terus berteriak-teriak kearah ku. Namun tetap ku tak ingat siapa dia. Perlahan ku alihkan pandanganku ke ibu, abangku, clara, edward, mike, jhonathan dan bosku fabio. Aku ingat mereka semua. Tapi laki-laki itu, aku tak ingat. Aku tetap tak tau. Semua menangis. Ku lihat muka yang sedih, penuh harap dan penyesalan dari laki-laki yang ada dihadapanku.
Tiga bulan aku dalam pengobatan hingga ku bisa keluar dari rumah sakit biru ini. ”Close to you...” teleponku berdering. Kutatap nama pada layar telepon genggamku. Ternyata clara. ” Diana, kita dah urus semua dokumen-dokumen apartemen loe. Sekarang loe bisa tempatin lagi kamar loe yang dulu.” ucap clara di seberang speaker telepon genggamku. ” beneran?” tanyaku rasa percaya tidak percaya.
Setelah ku terima telepon dari clara, aku pergi menuju apartemenku. Kamarku yang telah lama tak ku tempati. Entah seperti apa bentuknya kini. Setelah 40 menit perjalanan, akhirnya aku tiba di tempat yang sangat familiar untukku. “Dover Crecent Apartment” itulah nama yang jelas-jelas ku baca dari urutan huruf-huruf yang tersusun rapi di tembok-tembok berwarna pink yang sedikit terlihat agak kusam.
Aku masih ingat dimana aku letakkan kunci-kunci kamarku. Letak gelas-gelasku. Dan tiba-tiba, aku ingin melihat atap dari kamarku. Disitu biasanya, bila aku merasa sedih atau bosan dengan hidupku. Aku akan naik keatap, dan kulihat bintang-bintang dari atas atap. Namun ketika ku injakkan kaki di anak tangga terakhir, atap ini begitu berbeda. Tidak seperti biasa, namun, tidak asing bagiku. Tersusun taman kecil yang indah di setiap sudut-sudut atap ini. Tulip, bungan lili, berjuta warna bunga mawar dan bunga-bunga yang aku sendiripun tidak tau namanya. ” Indaaahhh sekali taman ini” pikirku. Diantara kumpulan bunga-bunga yang tersusun rapi, berdiri tegak sebuah ayunan kecil. Namun tetap bisa ku naikkan. Aku bingung sekali, mengapa taman ini begitu tidak asing bagiku. Bagiku, aku sering ketaman ini. Tapi aku lupa, tanggal, jam atau detiknya aku ke tempat ini. Ketika ku terdiam sesaat, ku melihat ada sepucuk kertas putih diantara susunan bunga lili yang putih bersih.

Dear...Diana...
Hari yang ku lalui dengan mu begitu fantastic...
Kau datang dengan tiba-tiba, pergi tak permisi...
Kau membawa bermacam warna dalam hidupku...
Mungkin, kau tak kan pernah mengingatku lagi...
Tapi...
Wajahmu, senyummu, tawamu, dan wangimu...
Tetap dalam bayanganku..
Dalam imajinasiku...
Taman ini...
Bunga-bunga ini...semua untukmu
Jutaan bunga dengan warna dan wanginya,
Mewakili kenanganmu untukku...
Putih senyummu. Biru kenanganmu...
Ku selalu berharap dibangunmu kelak...
Kau kan ingat diriku kembali...
Orang yang sangat menyayangimu..
Menginginkan mu...

By... Tery R

Aku terdiam kembali. Aku terus berusaha berfikir dan berfikir, siapa tery. Apa yang telah terjadi diantara kami. Semakin ku berfikir, tetap tak ku temukan jawabannya.
”yah...siapa tery...apa hubunganku dengannya? Dimana aku lihat taman ini?” pertanyaan itu terus dan terus melayang diotakku. ” yah...sudah...mungkin hanya mimpi.” ucapku singkat. Namun, aku terperanjat. Aku ingat, taman ini, surat ini, adalah mimpiku. Mimpi yang berulang kali selalu datang di tiap malamku. Dan tery? Apakah ia juga ada dalam mimpiku?

Rahasia Kehidupan

Kalau Anda ingin mencari orang yang paling bertanggung jawab atas kegagalan Anda dalam hidup, maka Anda bisa mulai dengan menyalahkan diri sendiri? Kenapa demikian?
Karena Andalah sendiri yang mengambil keputusan untuk gagal. Bukan atasan Anda yang galak. Bukan anak buah Anda yang susah diatur. Bukan istri Anda yang tidak sejalan. Bukan suami Anda yang tidak pengertian. Bukan teman di kantor yang menggosipkan Anda. Tetapi karena Anda sendirilah yang memutuskan, mengambil keputusan dengan penuh kesadaran, untuk gagal.
Seorang pesenam dari Jepang meraih medali emas impiannya setelah menari dengan indah di Ol i mpiade. Padahal hari sebelumnya, tumitnya retak dan dokter mengatakan dia akan cacat seumur hidupnya. Rasa sakit dikalahkan oleh kemauan yang kuat untuk mempersembahkan medali emas bagi negaranya.

Sepasang mahasiswa drop-out memulai sebuah perusahaan software kecil-kecilan yang sama sekali tidak diperhitungkan akan menjadi besar. Kini Bill Gates dan Tim Allen merupakan dua orang legenda software dunia, padahal hanya berijazah SMA.

Seorang veteran perang dunia pertama menawarkan resep masakan keluarganya kepada lebih dari seribu orang yang dinilainya dapat memberinya modal usaha mengembangkan restoran. Seribu orang itu menolaknya. Tapi ia tidak menyerah. Bayangkan bila saat itu Kolonel Sanders memutuskan berhenti pada penolakan yang ke 999, hari ini kita tidak akan mengenal Kentucky Fried Chicken.

Ketika percobaan lampunya yang ke sekian ratus gagal, Thomas Alfa Edison berkata pada seorang wartawan, "Saya tidak gagal! Bahkan saya baru saja berhasil menemukan cara ke 879 untuk tidak membuat lampu!"

Sukses Anda, bukan nasib. Sukses adalah sesuatu yang hanya dapat dicapai dengan harta, keringat, air mata dan kadang juga darah. Pada prinsipnya, tidak ada orang yang gagal. Yang ada hanya orang yang "memutuskan untuk berhenti" sebelum mencapai sukses.

Rabu, 13 Mei 2009

Singkong Goreng Vs Keju

Singkong goreng.... Keju??? mana yang akan kau pilih untuk sarapan pagi esok???

Terdapat perbedaan yang mendasar tentang keberadaan dua jenis makanan ini...ya, setidaknya kita sebut demikian, jika tidak mau kita ungkapkan sebagai ITU.

Singkong ... tanaman yang sangat mudah memeliharanya...namun memiliki manfaat, disetiap tubuhnya. Daunnya, bisa kau makan sebagai sayuran sehat. batang bisa kau jadikan tongkat penopang tubuh, dan akar??? merangkap menjadi b uah, yang bisa kita makan baik di goreng, rebus, ataupun kukus.

Keju ... makanan yang identik dengan kemapanan pemakannya. di buat dengan berbagai jenis teknologi yang mungkin, jika dihitung-hitung tak mungkin murah. memiliki rasa yang asin ataupun hambar. sangat cocok dimakan dengan ditemani roti ataupun makanan yang tak jauh kelasnya dengan keju.

Namun, aku hanya ingin menjadi singkong dengan citarasa keju. Aku hanya ingin menjadi singkong yang sederhana, namun dengan pengolahan yang berteknologi tinggi dan cerdas. Aku hanya ingin menjadi singkong dengan penyajian yang amat sangat berkelas...

Citarasa tinggi, kecerdasan, teknologi mutakhir dan kesuksesan yang ada dalamku kelak, aku tetap mengharap aku seperti singkong. Tetap memberikan kebaikan dan kegunaan untuk orang yang datang mencariku dan membutuhkanku. Selayak Singkong.

Malam

Malam ini begitu berbeda. Diantara kepadatan kota Jakarta, ku tatap langit hitam diatas kepalaku. Diantara hingar bingar Jakarta malam, ternyata aku lihat keheningan. suara keheningan bintang terang. Bintang yang bertebaran merata dihamparan langit hitam.

Langit itu seakan perasaan ku. Hitam tak bertuan. Tapi kami berbeda. Langit memiliki bintang yang dengan setia menemani malam. Tapi aku???Aku tetaplah aku. Sendiri tak berkawan. Menangis???? Akupun sudah bosan. Dalam tidurpun aku menangis, dalam tawapun aku menangis.

Pekerjaanku...seakan menjadikan ku pengikut malam gelap. Entah apa yang kurasa sekarang. Kesedihan kah? atau kemuakkanku akan ketidak berdayaanku. Mungkin aku hanyalah seorang pembual yang hanya bisa mengatakan kekesalanku dalam sebuah tulisan. Tapi itu adalah kebenaran. Kebenaran tentang ketidak berdayaanku.

Keinginanku ...begitu menuntutku. Menuntutku untuk terus dan terus menggapainya. Setinggi keinginanku, semakin membuatku takut. Takut akan kekuatanku yang lemah.

Mungkin hanya satu keinginan terbesarku, aku hanya ingin seperti Bintang itu. Bintang yang malam ini aku lihat. Dia terlihat hanya seperti bintang biasa, tapi entah mengapa aku memiliki ketertarikkan yang dalam. Sinarnya tak pernah redup. Terus dan terus. Hingga diujung malam inipun cahayanya tak redam. Tapi dia tetap bintang yang biasa.

Selasa, 12 Mei 2009

KEJEMUAN Ku

Hari-hari ku mulai berwarna abu-abu...
aku mulai muak dengan semua kepalsuan dari mereka...
mereka yang terlihat manis...namun penuh kepalsuan dibelakangku.
mungkin aku adalah orang yang minoritas. orang yang tidak suka dengan topeng dunia yang sembraut...

Aku hanya ingin sebuah kejujuran dari setiap mulut manusia didunia. layaknya singkong...dia tak pernah malu, mengatakan pada dunia...bahwa aku biasa. dia tidak pernah takut mengatakan sebenarnya, bahwa dia hanyalah makanan kampung...namun, dia tetap menyimpan fans fanatik tersendiri, salahsatunya aku.

aku hanya ingin berteriak dan mengatakan, "APAKAH MEREKA TIDAK PERNAH MUAK???"akan diri mereka yang penuh kepalsuan???

entah mengapa...mungkin aku hanyalah salah satu korban kepalsuan dunia. dan sekali lagi, aku mulai muak. aku hanya ingin menjadi diriku sendiri. dan aku ingin, semua orang tau...aku tetap aku. mau mereka suka atau tidak, namun aku tetap aku