Selasa, 12 Juli 2011

MANAJEMEN RISIKO PADA PERBANKAN


Arti risiko dapat diartikan sebagai suatu kerugian akibat terjadinya suatu peristiwa (event) tertentu. Sedangkan manajemen risiko dalam perbankan dapat diartikan sebagai serangkaian metodologi dan prosedur yang digunakan untuk mengidentifikasi, mengukur, memantau, dan mengendalikan risiko yang timbul dari seluruh kegiatan usaha bank.

Terdapat beberapa risiko yang mungkin muncul dalam usaha kegiatan bank, diantaranya adalah:

1. Risiko kredit. Adalah risiko akibat dari kegagalan debitur dan atau pihak lain dalam memenuhi kewajibannya kepada bank. Dalam risiko kredit ini, termasuk juga kedalamnya risiko konsentrasi kredit, yaitu risiko yang timbul akibat terkonsentrasinya penyediaan dana kepada 1 (satu) pihak atau sekelompok pihak, industry, sector, dan / atau area geografis tertentu yang berpotensi menimbulkan kerugian cukup besar, sehingga mampu mengancam kelangsungan usaha dari bank.

2. Risiko pasar. Adalah risiko pada posisi neraca dan rekening administrative termasuk transaksi derivative, akibat perubahan secara keseluruhan dari kondisi pasar, termasuk juga didalamnnya risiko perubahan harga option.

3. Risiko suku bunga. Adalah risiko akibat perubahan harga instrument keuangan dari posisi Trading Book atau akibat perubahan nilai ekonomis dari posisi Banking Book, yang disebabkan oleh perubahan suku bunga.

4. Risiko nilai tukar. Adalah risiko akibat perubahan bilai posisi Trading Book dan Banking Book yang disebabkan oleh perubahan nilai tukar valuta asing atau perubahan harga emas.

5. Risiko ekuitas. Adalah risiko akibat perubahan harga instrument keuangan dari posisi Trading Book yang disebabkan oleh perubahan saham.

6. Risiko likuiditas. Adalah risiko yang muncul akibat ketidakmampuan bank untuk memenuhi kewajibannya yang jatuh tempo dari sumber pendanaan arus kas atau dari asset likuid berkualitas tinggi yang dapat diagunkan, tanpa mengganggu aktivitas dan kondisi keuangan bank.

7. Risiko operasional. Adalah risiko akibat ketidakcukupan dan atau tidak berfungsinya proses internal, kesalahan manusia, kegagalan system, dan atau adanya kejadian-kejadian eksternal yang mempengaruhi operasional bank.

8. Risiko kepatuhan. Adalah risiko akibat bank tidak mematuhi dan atau tidak melaksanakan peraturan perundang-undangan dan ketentuan yang berlaku.

9. Risiko hukum. Adalah risiko yang timbul akibat adanya tuntutan hukum dan atau kelemahan aspek yuridis. Risiko ini timbul karena ketiadaan peraturan perundang-udnangan yang mendukung atau kelemahan perikatan, seperti tidak dipenuhinya syarat sah kontrak atau pengikatan agunan yang tidak sempurna.

10. Risiko reputasi. Adalah risiko yang timbul akibat menurunnya tingkat kepercayaan stakeholder yang bersumber dari persepsi negative terhadap bank. Risiko ini pun bisa timbul karena adanya pemberitaan media dan/atau rumor mengenai bank yang bersifat negatif, serta adanya strategi komunikasi bank yang kurang efektif terhadap pihak-pihak yang berada di sekitar bank, seperti nasabah, karyawan ataupun masyarakat sekitar bank.

11. Risiko strategik. Adalah risiko akibat ketidaktepatan dalam pengambilan dan atau pelaksanaan suatu keputusan stratejik serta kegagalan dalam mengantisipasi perubahan lingkungan bisnis. Selain itu, risiko ini pun timbul karena kegagalan dalam mengantisipasi perubahan lingkungan bisnis yang didalamnya mencakup kegagaln bank dalam mengantisipasi perubahan teknologi, perubahan kondisi ekonomi makro, dinamika kompetisi di pasaran, serta terhadap perubahan kebijakan otoritas terkait.

12. Risiko kepatuhan. Adalah risiko yang disebabkan karena tidak terpenuhinya atau tidak berjalannya aturan dan peraturan didalam perbankan tersebut.

Bagaimana bank mampu meminimalkan risiko yang timbul di dalam bisnisnya? Bagaimana manajemen risiko ini diterapkan di dalam bank?

Terdapat beberapa cara yang bisa dilakukan oleh bank guna meminimalkan risiko yang mungkin timbul didalam kegiatan bank, diantaranya adalah:

a. Bank harus memiliki sistem dan prosedur (standard operating procedures) yang menjelaskan kewenangan bank dalam pengelolaan produk (yaitu instrumen keuangan yang diterbitkan oleh bank) ataupun aktivitas baru (yaitu jasa yang disediakan bank kepada nasabah-nasabahnya).

b. Bank harus memiliki kemampuan didalam mengidentifikasi seluruh risiko yang melekat pada produk bank tersebut ataupun melekat pada aktivitas baru baik yang terkait dengan bank maupun nasabah. Pengidentifikasian ini juga termasuk kedalamnya saat melakukan masa uji coba metode pengukuran dan pemantauan risiko terhadap suatu produk atau aktivitas bank.

c. Bank harus memiliki suatu sistem informasi akutansi yang mampu mengidentifikasi kejanggalan-kejanggalan didalam pelaksanaan aktivitas bank.

d. Bank memiliki metode yang mampu menganalisa aspek hukum bagi setiap produk atau aktivitas suatu bank.

e. Suatu bank harus memiliki transparansi informasi yang diberikan kepada setiap pihak-pihak yang berhubungan dengan bank tersebut, tidak terkecuali kepada pihak nasabah. Dalam hal penerapan transparansi informasi kepada pihak nasabah bank, terdapat hal-hal yang harus diperhatikan oleh suatu bank, diantaranya adalah:

i. Informasi yang disampaikan harus lengkap, benar, dan tidak menyesatkan nasabah;

ii. Kejelasan informasi terkait dengan potensi risiko yang muncul atas pemanfaatan produk/aktivitas yang dilakukan oleh nasabah;

iii. Informasi yang disampaikan tidak menyamarkan, mengurangi, atau menutupi hal-hal yang penting terkait dengan risiko yang mungkin muncul.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa transparansi pemberian informasi kepada nasabah yang harus diperhatikan oleh bank terkait dengan transparansi informasi produk bank, prosedur yang ada, skim, serta materi-materi seperti karakteristik produk atau aktivitas bank, risiko, maupun hak dan kewajiban nasabah.

f. Bank harus melaporkan profile risiko yang dimiliki bank kepada Bank Indonesia secara triwulan. Laporan profile risiko yang dilaporkan ini wajib memuat substansi yang sama dengan laporan profile risiko yang disampaikan juga satuan kerja manajemen risiko yang dilaporkan kepada Direktur Utama maupun Komite Manajemen Risiko. Laporan profile risiko ini dilaporkan ke BI paling lambat 15 hari kerja setelah akhir bulan laporan.

g. Bank harus menyampaikan laporan produk atau aktivitas baru kepada Bank Indonesia. Laporan ini terdiri dari laporan rencana penerbitan produk atau pelaksanaan aktivitas baru, maupun laporan reliasasi penerbitan produk atau pelaksanaan aktivitas baru.

h. Serta, laporan-laporan lain yang dirasa memiliki potensi untuk menimbulkan kerugian yang signidikan terhadap kondisi keuangan bank.

Disamping bank umum memiliki kebijakan dan prosedur tertulis, dalam penerapan manajemen risiko ini, bank umum juga harus melakukan persetujuan dan eveluasi berkala mengenai kebijakan dan strategi terkait dengan manajemen risiko. Evaluasi berkala ini dilakukan paling kurang 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun atau selama terdapat perubahan faktor-faktor yang mempengaruhi kegiatan usaha bank secara signifikan. Disamping itu, bank juga wajib menerapkan transparansi informasi produk maupun transparansi aktivitas bank baik secara tertulis maupun lisan kepada pihak-pihak yang berhubungan dengan bank dan tidak terkecuali kepada para nasabahnya.

Minggu, 26 Juni 2011

Bancassurance

BANCASSURANCE

Bancassurance adalah suatu kerjasama antara Bank dengan pihak asuransi. Bancassurance ini bisa dalam beberapa bentuk, yaitu:

  1. Perjanjian Pemasaran (Distribution Agreement). Pada jenis ini kesepakatan bank dengan asuransi hanya sebatas untuk memasarkan asuransi kepada nasabah yang dapat dilakukan oleh bankmelalui penawaran secara tata muka, dengan komunikasi (telemarketing), atuamelalui pengiriman surat kepada nasabahnya.
  2. Perjanjian Aliansi Strategis (Strategic Alliance Agreement). Jenis ini merupakan kesepakatan antara bank dengan pihak asuransi untuk memasarkan asuransi dengan cara:
    1. Memodifikasi asuransi dengan produk bank dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan nasabah bank tersebut.
    2. Dengan memasarkan asuransi melalui saluran pemasaran termasuk penggunaan sebagian ruangan bank oleh perusahaan asuransi (Channel management).
  3. Kepemilikan Bersama (Joint Venture). Adalah dimana bank dengan pihak asuransi bersama-samamendirikan suatu perusahaan guna memasarkan asuransi.
  4. Kelompok Jasa Keuangan (Financial Services Group). Adalah suatu bentuk kerjasama yang lebih terintegrasi antara bank dengan pihak asuransi, dimana perusahaan asuransi dapat mendirikan atau bank atau sebaliknya.

Yang paling penting dalam aktivitas bancassurance ini adalah, bahwa bank tidak boleh menanggung atau turut menanggung risiko yang timbul dari pihak asuransi.

Dalam melaksanakan proses bancassurance ini, terdapat beberapa referensi aturan BI yang bisa melandasi transaksi tersebut. Adapun aturan-aturan BI tersebut antara lain:

No.

Nomor Peraturan

Tanggal ditetapkan

Perihal

1.

PBI No. 2/19/PBI/2000

7 September 2000

Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Perintah atau Izin Tertulis Membuka Rahasia Bank.

2.

PBI No. 5/8/PBI/2003

19 Mei 2003

Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank Umum

3.

SE BI No. 5/21/DPNP

29 September 2003

Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank Umum

4.

KMK No.426/KMK.06/2003

30 September 2003

Perizinan Usaha dan Kelembagaan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi

5.

SE BI No. 6/43/DPNP

7 Oktober 2004

Penerapan Manajemen Risiko pada Bank yang Melakukan Kerjasama Pemasaran dengan Perusahaan Asuransi (Bancassurance)

6.

PBI No. 7/6/PBI/2005

20 Januari 2005

Transparansi Informasi Produk Bank dan Penggunaan Data Pribadi Nasabah

7.

SE BI No. 7/25/DPNP

18 Juli 2005

Transparansi Informasi Produk Bank dan Penggunaan Data Pribadi Nasabah

Berikut adalah alur dalam proses aktivittas Bancassurance:



Dalam menerapkan bancassurance, sebuah bank wajib menerapkan juga Manajemen Risiko yang secara efektif harus sesuai dan sejalan dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/8/PBI/2003 tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum.

Hal-hal yang harus diperhatikan oleh bank dalam penerapan manajemen risiko ini adalah:

  1. Bank harus melakukan penyeleksian terhadap perusahaan asuransi yang akan menjadi mitra bank tersebut.
  2. Bank wajib secara bersama-sama dengan pihak asuransi untuk membuat perjanjian kerjasama diantara keduanya.
  3. Bank wajib memastikan bahwa bank dan pihak asuransi bersama-sama memastikan bahwa data-data rahasia bank tidak akan dibocorkan dalam pelaksanaannya. Sebagai contoh; bank memastikan bahwa data-data nasabah tidak akan diberikan kepada pihak ketiga (outsourcing) saat melakukan pemasaran asuransi.
  4. Bank wajib menerapkan prinsip-prinsip pokok transparansi yang terkait dengan asuransi yang dipasarkan.

Bank yang telah melakukan bancassurance ini, wajib melaporkan secara tertulis kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak aktivitas bancassurance ini dijalankan oleh bank umum tersebut.


Pelaksanaan GCG di Perbankan

PELAKSANAAN GOOD CORPORATE GOVERNANCE

di

PERBANKAN

Good Corporate Governance atau sering disebut dengan GCG adalah suatu tata kelola bank yang menerapkan prinsip-prinsip keterbukaan (transparency), akutabilitas (accountability), pertanggungjawaban (responsibility), independensi (independency), dan kewajaran (fairness).

Dari definisi nya, dapat dilihat bahwa dalam pelaksanaannya, GCG pada perbankan haruslah memperhatikan lima prinsip dasar, yaitu:

  1. Prinsip transparansi (transparency). Yaitu suatu prinsip keterbukaan dalam mengemukakan informasi yang material dan relevan serta keterbukaan dalam proses pengambilan keputusan. Dalam implikasi prinsip ini, maka bank diwajibkan untuk menyampaikan Laporan Pelaksanaan Good Corporate Governance.
  2. Prinsip keterbukaan (accountability). Yaitu suatu prinsip yang menunjukkan kejelasan fungsi dan pelaksanaan pertanggungjawaban segala aktivitas bank, sehingga pengelolaannya berjalan secara efektif.
  3. Prinsip pertanggungjawaban (responsibility). Yaitu suatu prinsip dalam kesesuaian pengelolaan bank dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip pengelolaan bank yang sehat.
  4. Prinsip independensi (independency). Yaitu suatu prinsip yang berusaha untuk melakukan pengelolaan bank secara professional tanpa pengaruh atau tekanan dari pihak manapun.
  5. Prinsip kewajaran (fairness). Yaitu suatu prinsip yang menunjukkan keadilan dan kesetaraan dalam memenuhi hak-hak stakeholders yang timbul berdasarkan perjanjian dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dalam memastikan penerapan 5 (lima) prinsip pada GCG, maka setidaknya terdapat 11 (sebelas) faktor penilaian yang dilakukan oleh BI. Adapun faktor-faktor yang dinilai oleh BI adalah:

  1. Penilaian terhadap pelaksanaan tugas dan tanggungjawab Dewan Komisaris.
  2. Penilaian terhadap pelaksanaan tugas dan tanggungjawab Direksi.
  3. Penilaian terhadap kelengkapan dan pelaksanaan tugas komite.
  4. Penilaian terhadap penanganan benturan kepentingan.
  5. Penilaian terhadap penerapan fungsi kepatuhan oleh suatu bank.
  6. Penilaian terhadap penerapan fungsi audit intern pada suatu bank.
  7. Penilaian terhadap penerapan fungsi audit ekstern.
  8. Penilaian terhadap penerapan manajemen risiko yang didalamnya termasuk juga pengendalian intern.
  9. Penilaian terhadap penyediaan dana kepada pihak terkait (related party) dan proses penyediaan dana besar (large exposures).
  10. Penilaian terhadap transparansi kondisi keuangan dan non keuangan suatu bank, laporan pelaksanaan GCG serta pelaporan internalnya.
  11. Serta, penilaian rencana strategis bank.

Setelah melakukan penilaian terhadap 11 (sebelas) faktor atau indikator diatas, maka selanjutnya BI akan melakukan pembobotan pada masing-masing faktor tersebut. Hal ini sesuai dalam table berikut ini:

No

Faktor

Bobot (%)

1

Pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Dewan Komisaris

10.00

2

Pelaksanaan tugas dan tanggungjawab Direksi

20.00

3

Kelengkapan dan pelaksanaan tugas Komite

10.00

4

Penanganan terhadap benturan kepentingan

10.00

5

Penerapan fungsi kepatuhan bank

5.00

6

Penerapan fungsi audit intern

5.00

7

Penerapan fungsi audit ekstern

5.00

8

Penerapan fungsi manajemen risiko termasuk system pengendalian intern

7.50

9

Penerapan dalam penyediaan dana kepada pihak terkait (related party) dan debitur besar (large exposures)

7.50

10

Penerapan dalam transparansi kondisi keuangan dan non keuangan, laporan pelaksanaan GCG dan pelaporan internal.

15.00

11

Penerapan rencana strategis bank

5.00

Nilai akhir dari masing-masing factor ini kemudian dikalikan dengan bobot persentase yang ada. Untuk mengetahui apakah suatu bank tersebut memiliki penerapan GCG yang sangat baik atau sangat buruk, maka nilai ini dapat dilihat dalam tabel berikut ini:

Nilai Komposit

Predikat Komposit

Nilai Komposit < 1.5

Sangat Baik

1.5 ≤ Nilai Komposit ≤ 2.5

Baik

2.5 ≤ Nilai Komposit ≤ 3.5

Cuku Baik

3.5 ≤ Nilai Komposit ≤ 4.5

Kurang Baik

4.5 ≤ Nilai Komposit ≤ 5

Tidak Baik

Setelah bank umum membuat laporan dan self assessment atas aktivitas GCG tersebut, maka nantinya BI akan melakukan penilaian dan evaluasi terhadap laporan dan self assessment tersebut. Dalam penilaian ini, BI akan mengevaluasi atas kesesuaian data (laporan dan hasil self assessment) dengan kondisi bank umum yang sebenarnya.

Minggu, 19 Juni 2011

Apa Sistem Ekonomi Kita????


Sistem Ekonomi Pancasila

Kalau kita baca-baca lagi UUD’ 45... pasti kita menyimpulkan bahwa sistem ekonomi kita adalah sistem ekonomi pancasila atau sistem ekonomi kerakyatan. Tapi apa benar??? Apa iya sistem ekonomi kita seperti itu? Sekarang mari kita telaah, apa sih sebenarnya sistem ekonomi pancasila dan sistem ekonomi kerakyatan itu? Atau jangan-jangan sistem kita bukan keduanya????

Menurut Wikipedia, Sistem ekonomi pancasila dapat diartikan sebagai sistem yang mengatur hubungan antara pelaku ekonomi dengan sistemnya sesuai dengan pada etika dan moral yang ada di pancasila dengan tujuan akhirnya adalah mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia.

Menurut Bapak proklamasi kita (Bung Karno), Intisari dari Pancasila (Eka Sila) adalah gotongroyong atau kekeluargaan, sedangkan dari segi politik Trisila yang diperas dari Pancasila adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, sosio-nasionalisme, dan sosio-demokrasi.

Kalau kita liat pernyataan dari guru besa FE-UGM (Prof.Dr.Mubyarto), sistem ekonomi pancasila adalah Sistem Ekonomi Pancasila berisi aturan main kehidupan ekonomi yang mengacu pada ideologi bangsa Indonesia, yaitu Pancasila. Dalam Sistem Ekonomi Pancasila, pemerintah dan masyarakat memihak pada (kepentingan) ekonomi rakyat sehingga terwujud kemerataan sosial dalam kemakmuran dan kesejahteraan. Inilah sistem ekonomi kerakyatan yang demokratis yang melibatkan semua orang dalam proses produksi dan hasilnya juga dinikmati oleh semua warga masyarakat.”

Sistem ekonomi pancasila memiliki empat ciri-ciri yang menonjol, yaitu:

  1. 1. Yang menguasai hajat hidup orang banyak adalah negara / pemerintah. Contoh hajad hidup orang banyak yakni seperti air, bahan bakar minyak / BBM, pertambangan / hasil bumi, dan lain sebagainya.
  2. 2. Peran negara adalah penting namun tidak dominan, dan begitu juga dengan peranan pihak swasta yang posisinya penting namun tidak mendominasi. Sehingga tidak terjadi kondisi sistem ekonomi liberal maupun sistem ekonomi komando. Kedua pihak yakni pemerintah dan swasta hidup beriringan, berdampingan secara damai dan saling mendukung.
  3. 3. Masyarakat adalah bagian yang penting di mana kegiatan produksi dilakukan oleh semua untuk semua serta dipimpin dan diawasi oleh anggota masyarakat yang diunjuk.
  4. 4. Modal atau pun buruh tidak mendominasi perekonomian karena didasari atas asas kekeluargaan antar sesama manusia.

Lalu bagaimana sistem ekonomi kita sekarang? Apa sesuai dengan sistem ekonomi pancasila di atas?

Jika memang tidak sesuai, apa mungkin sistem ekonomi kita adalah Sistem Ekonomi Kerakyatan? Apakah sama sistem ekonomi pancasila dengan sistem ekonomi kerakyatan? Untuk lebih mengenal sistem ekonomi kerakyatan, akan kita jabarkan sedikit apa itu yang disebut dengan sistem ekonomi kerakyatan.

Sistem Ekonomi Kerakyatan

Di indonesia, roda perekonomian tercatat dalam UUD’45 khusunya pasal 33 ayat 1 yang berbunyi “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas kekeluargaan”. Dalam ayat tersebut tertulis, bahwa ekonomi disusun...kata disusun menunjukkan bahwa perekonomian Indonesia diatur secara sengaja, sehingga mekanisme yang dipilih jelas merupakan mekanisme perencanaan pusat. Walaupun demikian secara keseluruhan pasal 33 menunjuk pada keharusan dilaksanakannya sistem perekonomian indonesia atas dasar kerakyatan yang mengandung arti produksi dikerjakan dengan partisipasi seluruh rakyat, untuk seluruh rakyat, dan dibawah pimpinan atau pemilikan anggota masyarakat.

Sistem ekonomi kerakyatan adalah sistem ekonomi yang berasas kekeluargaan, berkedaulatan rakyat, dengan moral pancasila , serta menunjukkan kepemihakan sunguh-sunguh pada ekonomi rakyat (diambil dari http://cafe-ekonomi.blogspot.com/2009/05/makalah-sistem-ekonomi-kerakyatan.html)

Ekonomi kerakyatan sebagaimana dikemukakan dalam Pasal 33 UUD 1945, adalah sebuah sistem perekonomian yang ditujukan untuk mewujudkan kedaulatan rakyat dalam bidang ekonomi. Tiga prinsip dasar ekonomi kerakyatan adalah:

(1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan

(2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara, dan

(3) Bumi, air, dan segala kekayaan yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Berdasarkan ketiga prinsip tersebut dapat disaksikan betapa sangat besarnya peran negara dalam sistem ekonomi kerakyatan. Sebagaimana dilengkapi oleh Pasal 27 ayat 2 dan Pasal 34, peran negara dalam sistem ekonomi kerakyatan antara lain meliputi lima hal, yaitu:

(1) Mengembangkan koperasi

(2) Mengembangkan BUMN

(3) Memastikan pemanfaatan bumi, air, dan segala kekayaan yang terkandung didalamnya bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat

(4) Memenuhi hak setiap warga negara untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak

(5) Memelihara fakir miskin dan anak terlantar.

Jadi jika kita berusaha simpulkan, ekonomi kerakyatan berdasarkan UUD’45 kita memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

(1) Menyusun perekonomian sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan; mengembangkan koperasi (Pasal 33 ayat 1).

(2) Menguasai cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak; mengembangkan BUMN (Pasal 33 ayat 2).

(3) Menguasai dan memastikan pemanfaatan bumi, air, dan segala kekayaan yang terkandung di dalamnya bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (Pasal 33 ayat 3).

(4) Mengelola anggaran negara untuk kesejahteraan rakyat; memberlakukan pajak progresif dan memberikan subsidi.

(5) Menjaga stabilitas moneter.

(6) Memastikan setiap warga negara memperoleh haknya untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan (Pasal 27 ayat 2).

(7) Memelihara fakir miskin dan anak terlantar (Pasal 34).

Dengan demikian, ternyata dapat kita ketahui bahwa antara ekonomi kerakyatan dan ekonomi pancasila adalah sama. Sistem ekonomi di Indonesia menggunakan sistem kerakyatan, dimana sistem ini tercerminkan dalam sistem ekonomi pancasila. Jadi kedua sistem tersebut adalah satu kesatuan.

Lalu timbul pertanyaan lagi nech di otak awam saya. Kalau begitu, jika ciri-ciri antara ekonomi pancasila dan ekonomi kerakyatan bukan seperti yang terjadi di Indonesia sekarang, lalu sistem ekonomi apa yang digunakan Indonesia sekarang????

Sistem Ekonomi Sosialis/Komunis

Sistem ekonomi ini menjadikan pemerintah sebagai pusat dari segala macam kegiatan ekonomi. Segala macam kegiatan ekonomi masyarakat diatur oleh pusat, bahkan mengenai hak milik pribadi pun pemerintah pusatlah yang mengatur.

Akibat dari sistem ini, tidak adanya kepemilikan pribadi karena semuanya diatur oleh pusat. Tak ada pula si kaya dan si miskin karena ekonomi komunis berpandangan bahwa seharusnya kondisi masyarakat harus “sama rata sama rasa”, tak ada yang lebih dan tak ada yang kurang. Rakyat atau masyarakat tidak bebas menggunakan sumber daya alam.

Kemampuan mereka untuk berpikir kreatif benar-benar dipasung sehingga rakyat hanya bisa “terima-terima” saja. Sistem ekonomi sosialis ini digawangi oleh Rusia.

Sistem Ekonomi Liberal/Kapitalis

Sistem ekonomi liberal klasik adalah suatu filosofi ekonomi dan politis. Mula-mula ditemukan pada suatu tradisi penerangan atau keringanan yang bersifat membatasi batas-batas dari kekuasaan dan tenaga politis, yang menggambarkan pendukungan kebebasan individu.Teori itu juga bersifat membebaskan individu untuk bertindak sesuka hati sesuai kepentingan dirinya sendiri dan membiarkan semua individu untuk melakukan pekerjaan tanpa pembatasan yang nantinya dituntut untuk menghasilkan suatu hasil yang terbaik, yang cateris paribus, atau dengan kata lain, menyajikan suatu benda dengan batas minimum dapat diminati dan disukai oleh masyarakat (konsumen).

Garis berpaham ekonomi liberal telah pernah dipraktikan oleh sekolah-sekolah di Austria dengan berupa demokrasi di masyarakat yang terbuka. Paham liberali kebanyakan digunakan oleh negara-negara di benua Eropa dan Amerika. Seperti halnya di Amerika Serikat, paham liberal dikenali dengan sebutan mild leftism estabilished.

Ciri-ciri dari sistem ekonomi ini antara lain adalah:

§ Semua sumber produksi adalah milik masyarakat individu.

§ Masyarakat diberi kebebasan dalam memiliki sumber-sumber produksi.

§ Pemerintah tidak ikut campur tangan secara langsung dalam kegiatan ekonomi.

§ Masyarakat terbagi menjadi dua golongan, yaitu golongan pemilik sumber daya produksi dan masyarakat pekerja (buruh).

§ Timbul persaingan dalam masyarakat, terutama dalam mencari keuntungan.

§ Kegiatan selalu mempertimbangkan keadaan pasar.

§ Pasar merupakan dasar setiap tindakan ekonomi.

§ Biasanya barang-barang produksi yang dihasilkan bermutu tinggi.

Kalau kita liat-liat lagi tulisan diatas, ternyata dari ke empat sistem diatas, ngak ada satupun tuch ya pas dengan sistem ekonomi di Indonesia. Dibilang Indonesia menganut sistem ekonomi kapitalis, ngak, karena dari ciri-cirinya Indonesia tidak sepenuhnya seperti itu. Dibilang sosialis, tidak juga. Dibilang ekonomi kerakyatan / pancasila, ternyata ngak juga.

Tapi sebenarnya, kalau memang dikatakan UUD’45 masih merupakan sebagai dasar dari segala aturan-aturan dari negera kita dan pancasila masih merupakan dasar negara kita, maka sebaiknya sistem ekonomi yang kita gunakan pun seharusnya kembali kepada seharusnya, yaitu sistem ekonomi yang sesuai dengan dasar negara kita, yaitu Pancasila. Sehingga jika hal ini bisa dilakukan, maka sistem ekonomi kita menjadi jelas dan sesuai dengan dasar yang kita gunakan.